Label

Kamis, 23 Mei 2013

Konglomerasi Media dan Independensi Berita

Media merupakan salah satu fungsi sosial kontrol di masyarakat. Selain elemen gerakan mahasiswa, media lah yang kemudian diharapkan mampu membersihkan kerusakan yang merata dalam tiga pilar demokrasi. Pada era Orde Baru, korupsi dan kebobrokan sudah menjalar di seluruh lembaga pemerintahan hingga penegak keadilan. Memasuki Reformasi hingga kini, tak jua menunjukkan ada sinyal perbaikan. Dahulu korupsi terjadi dalam taraf pimpinan, kini kerusakan merata ke seluruh lapisan, terstruktur hingga ke lapisan terbawah dalam sistem.


Parahnya lagi, lembaga perwakilan rakyat maupun penegak keadilan, tak jauh berbeda dengan lembaga eksekutif. Lembaga Yudikatif yang semestinya bertindak sebagai penegak kebenaran dan membersihkan lembaga lainnya, justru ikut rusak. Ibarat kata pepatah, hendak mengawetkan ikan dengan garam, namun garamnya sendiri telah rusak. Keadilan menjadi sebuah monopoli bagi orang-orang yang memiliki uang dan jabatan.

Namun, semenjak bendera reformasi berkibar, hadir secercah harapan. Kebebasan pers di Indonesia dimulai. Media hadir menjadi pilar keempat demokrasi setelah lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Bahkan, kebebasan pers ini diberikan jaminan dalam Undang-Undang Dasar sebagai salah satu bentuk manifestasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Pintu kebebasan ini berwujud pula dalam kebebasan kepemilikan usaha. Dan konglomerasi media pun segera menjadi corak industri media di Indonesia. Ijin penerbitan tumbuh subur. Pemilik modal mulai bersaing membangun media-media penyedia informasi hingga hiburan. Siapa saja yang memiliki modal besar berhak untuk membangun perusahaan, dan bahkan membeli perusahaan lain yang ingin dimilikinya.

Konglomerasi ini kemudian menjadikan kepemilikan terhadap media terkonsentrasi kepada beberapa pihak saja. Kepemilikan media di Indonesia menjadi hegemoni beberapa kelompok pengusaha besar. Tak bisa dihindarkan, dengan terjadinya konglomerasi media, timbul pergulatan sengit antara bisnis, idealisme, hingga kepentingan politik. Imbasnya, independensi dan nilai profesionalisme pers tergadaikan.

Seperti misalnya dalam proses penerbitan berita. Terjadi tarik ulur antara peliput berita di lapangan terhadap redaktur di dalam ruangan, bahkan terhadap pemilik saham perusahaan. Seidealisme apapun wartawan, bisa tak berarti apa-apa oleh keputusan redaktur. Redaktur yang berhak menentukan sebuah berita akan dimuat, dipotong sebagian kontennya, atau bahkan disingkirkan sama sekali. Dan selurus-lurusnya sang redaktur, kuasa pemilik perusahaan yang menentukan. Tentu redaktur harus berpikir ulang untuk tidak mengindahkan arahan pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Salah-salah ia terancam dikeluarkan.

Terbukanya kran peluang kepemilikan tunggal atas berbagai perusahaan media sekaligus, berpotensi menimbulkan dampak krusial. Saluran informasi akan mudah digunakan sebagai alat propaganda politik oleh sang pemilik. Media menjadi sebuah mekanisme tersistematis untuk mempropagandakan gerakan pencitraan politis pemiliknya, sekaligus alat penyerang lawan politik. Seperti belakangan kita lihat, terlihat beberapa stasiun televisi swasta  tendensius dalam pemberitaan. Ketika ada kasus yang menyangkut pihak lawan politik sang pemilik, stasiun tersebut sangat gencar memberitakan. Namun ketika ada berita buruk terkait pemiliknya, sulit ditemukan berita tersebut ditampilkan di stasiun tersebut.  

Salah satu sisi negatif dari konglomerasi media ini adalah tergadaikannya independensi. Para awak media bekerja seolah-olah hanya sekedar menuruti keinginan bosnya dalam menyajikan berita. Tuntutan target menjadi penghalang pencari berita di lapangan untuk berpikir terhadap idealismenya. Mereka tentu akan berpikir mencari apa yang laku untuk disajikan ke publik, ketimbang menyajikan apa yang benar-benar akan mencerdaskan masyarakat. Dan kemudian pemenuhan akan kebutuhan sesuap nasi bagi keluarga di rumah menjadi lebih penting daripada nasib korban kedzoliman anak pejabat, misalnya.

Tersitanya independensi menyebabkan pemberitaan yang tendensius, memihak sesuai keinginan pemilik. Sehingga, Pemberitaan-pemberitaan yang ada akan membentuk pola pikir publik yang tendensius. Masyarakat akan terkotak-kotak berdasarkan golongan media yang ia percayai. Hal ini akan membentuk karakter masyarakat yang mudah saling menyudutkan kelompok lain. Dan akhirnya kesatuan dan kesolidan bangsa terancam.

Semestinya para pelaku media, tokoh bangsa, hingga di politisi di tanah air ini mau belajar kepada para bapak bangsa melalui sejarah. Pada masa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan dahulu, banyak para politisi negeri kita ini merupakan insan media sekaligus  tokoh penggerak perjuangan kemerdekaan. Diantaranya semisal Tjokroaminoto, Soekarno, hingga Adam Malik. Mereka merupakan para praktisi media massa kala itu. Mereka membangun media untuk menyebarluaskan pemikiran dan semangat mereka melalui surat kabar. Mereka menngunakan media untuk mengusir penjajah melalui tulisan-tulisan mereka. Jikalau ada perbedaan pemikiran dengan tokoh politik lainnya, mereka menggunakan media untuk saling mengkritisi dengan cara-cara yang santun.

Kita perlu belajar dari sejarah tersebut. Jika dahulu kita dijajah oleh kolonial, kini terjajah oleh permasalahan internal bangsa dan korupsi. Para bapak bangsa kita dahulu berjuang menggunakan media untuk mengusir penjajah. Maka, tidak salah jika kita berharap pada pilar keempat demokrasi ini pula untuk mengurai benang kusut permasalahan bangsa. Konglomerasi media bukan sebuah masalah. Hanya saja, bagaimana agar independensi bisa tetap dibiarkan hidup.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...