Media merupakan salah satu fungsi sosial kontrol di masyarakat. Selain
elemen gerakan mahasiswa, media lah yang kemudian diharapkan mampu membersihkan
kerusakan yang merata dalam tiga pilar demokrasi. Pada era Orde Baru, korupsi dan
kebobrokan sudah menjalar di seluruh lembaga pemerintahan hingga penegak
keadilan. Memasuki Reformasi hingga kini, tak jua menunjukkan ada sinyal
perbaikan. Dahulu korupsi terjadi dalam taraf pimpinan, kini kerusakan merata ke
seluruh lapisan, terstruktur hingga ke lapisan terbawah dalam sistem.
Parahnya lagi, lembaga perwakilan rakyat maupun penegak keadilan, tak jauh berbeda dengan lembaga eksekutif. Lembaga Yudikatif yang semestinya bertindak sebagai penegak kebenaran dan membersihkan lembaga lainnya, justru ikut rusak. Ibarat kata pepatah, hendak mengawetkan ikan dengan garam, namun garamnya sendiri telah rusak. Keadilan menjadi sebuah monopoli bagi orang-orang yang memiliki uang dan jabatan.
Namun, semenjak bendera reformasi berkibar, hadir secercah harapan. Kebebasan
pers di Indonesia dimulai. Media hadir menjadi pilar keempat demokrasi setelah
lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Bahkan, kebebasan pers ini diberikan
jaminan dalam Undang-Undang Dasar sebagai salah satu bentuk manifestasi
kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Pintu kebebasan ini berwujud pula dalam kebebasan kepemilikan
usaha. Dan konglomerasi media pun segera menjadi corak industri media di
Indonesia. Ijin penerbitan tumbuh subur. Pemilik modal mulai bersaing membangun
media-media penyedia informasi hingga hiburan. Siapa saja yang memiliki modal
besar berhak untuk membangun perusahaan, dan bahkan membeli perusahaan lain
yang ingin dimilikinya.
Konglomerasi ini kemudian menjadikan kepemilikan terhadap
media terkonsentrasi kepada beberapa pihak saja. Kepemilikan media di Indonesia
menjadi hegemoni beberapa kelompok pengusaha besar. Tak bisa dihindarkan,
dengan terjadinya konglomerasi media, timbul pergulatan sengit antara bisnis,
idealisme, hingga kepentingan politik. Imbasnya, independensi dan nilai
profesionalisme pers tergadaikan.
Seperti misalnya dalam proses penerbitan berita. Terjadi tarik
ulur antara peliput berita di lapangan terhadap redaktur di dalam ruangan, bahkan
terhadap pemilik saham perusahaan. Seidealisme apapun wartawan, bisa tak
berarti apa-apa oleh keputusan redaktur. Redaktur yang berhak menentukan sebuah
berita akan dimuat, dipotong sebagian kontennya, atau bahkan disingkirkan sama
sekali. Dan selurus-lurusnya sang redaktur, kuasa pemilik perusahaan yang
menentukan. Tentu redaktur harus berpikir ulang untuk tidak mengindahkan arahan
pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Salah-salah ia terancam dikeluarkan.
Terbukanya kran peluang kepemilikan tunggal atas berbagai
perusahaan media sekaligus, berpotensi menimbulkan dampak krusial. Saluran
informasi akan mudah digunakan sebagai alat propaganda politik oleh sang
pemilik. Media menjadi sebuah mekanisme tersistematis untuk mempropagandakan
gerakan pencitraan politis pemiliknya, sekaligus alat penyerang lawan politik.
Seperti belakangan kita lihat, terlihat beberapa stasiun televisi swasta tendensius dalam pemberitaan. Ketika ada
kasus yang menyangkut pihak lawan politik sang pemilik, stasiun tersebut sangat
gencar memberitakan. Namun ketika ada berita buruk terkait pemiliknya, sulit
ditemukan berita tersebut ditampilkan di stasiun tersebut.
Salah satu sisi negatif dari konglomerasi media ini adalah
tergadaikannya independensi. Para awak media bekerja seolah-olah hanya sekedar
menuruti keinginan bosnya dalam menyajikan berita. Tuntutan target menjadi
penghalang pencari berita di lapangan untuk berpikir terhadap idealismenya.
Mereka tentu akan berpikir mencari apa yang laku untuk disajikan ke publik,
ketimbang menyajikan apa yang benar-benar akan mencerdaskan masyarakat. Dan
kemudian pemenuhan akan kebutuhan sesuap nasi bagi keluarga di rumah menjadi
lebih penting daripada nasib korban kedzoliman anak pejabat, misalnya.
Tersitanya independensi menyebabkan pemberitaan yang
tendensius, memihak sesuai keinginan pemilik. Sehingga, Pemberitaan-pemberitaan
yang ada akan membentuk pola pikir publik yang tendensius. Masyarakat akan
terkotak-kotak berdasarkan golongan media yang ia percayai. Hal ini akan
membentuk karakter masyarakat yang mudah saling menyudutkan kelompok lain. Dan
akhirnya kesatuan dan kesolidan bangsa terancam.
Semestinya para pelaku media, tokoh bangsa, hingga di politisi
di tanah air ini mau belajar kepada para bapak bangsa melalui sejarah. Pada
masa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan dahulu, banyak para politisi negeri
kita ini merupakan insan media sekaligus
tokoh penggerak perjuangan kemerdekaan. Diantaranya semisal Tjokroaminoto,
Soekarno, hingga Adam Malik. Mereka merupakan para praktisi media massa kala
itu. Mereka membangun media untuk menyebarluaskan pemikiran dan semangat mereka
melalui surat kabar. Mereka menngunakan media untuk mengusir penjajah melalui
tulisan-tulisan mereka. Jikalau ada perbedaan pemikiran dengan tokoh politik
lainnya, mereka menggunakan media untuk saling mengkritisi dengan cara-cara
yang santun.
Kita
perlu belajar dari sejarah tersebut. Jika dahulu kita dijajah oleh kolonial,
kini terjajah oleh permasalahan internal bangsa dan korupsi. Para bapak bangsa
kita dahulu berjuang menggunakan media untuk mengusir penjajah. Maka, tidak
salah jika kita berharap pada pilar keempat demokrasi ini pula untuk mengurai
benang kusut permasalahan bangsa. Konglomerasi media bukan sebuah masalah.
Hanya saja, bagaimana agar independensi bisa tetap dibiarkan hidup.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^