Label

Minggu, 03 Maret 2013

Media Para Sengkuni


Ketika menyaksikan berita negatif di media, saya seringkali terngiang kalimat pemimpin India pada masa kejayaan Soekarno; Jawaharlal Nahru. Beliau berujar: "berteriak dari atap rumah bahwa orang-orang telah korup akan membuat sebuah atmosfer korupsi. Orang-orang akan merasa bahwa mereka hidup dalam iklim yang korup, dan pada akhirnya mereka akan rusak dengan sendirinya."

Ini yang saya cemaskan dengan media saat ini. Betapa simalakama pengaruh media dalam masyarakat. Mungkin kita tidak akan benar-benar menemukan orang yang berteriak-teriak seperti orang gila dari atas rumahnya melantangkan bahwa dunia ini telah rusak. Tapi ada yang mungkin tidak kita sadari. Bahwa kenyataannya hampir setiap hari kita menelan dengan senang hati berita-berita buruk yang dibisikkan oleh televisi, koran, hingga situs berita online. Dan sebagian besar kanal berita tersebut mencekoki pikiran pemirsanya dengan berita-berita beraura negatif. Celakanya lagi, mayoritas penebar atmosfer kerusakan tersebut adalah media-media mainstream, yang paling banyak dinikmati masyarakat kita. Sebut saja langsung. Seperti situs berita Tribun, Detik, Tempo, hingga stasiun Indosiar, SCTV, Global, dan lain sebagainya.

Tidak bisa dipungkiri memang, kehadiran media merupakan salah satu komponen penting di dalam masyarakat. Ia menjadi sosial kontrol di tengah masyarakat sekaligus sebagai juri bagi tiga pilar pemerintahan; eksekutif-legislatif-dan yudikatif. Namun yang harus kita cemaskan adalah, belakangan media telah berubah orientasi. Ia kini hadir bukan sekedar kontrol sosial, tapi sudah menjelma menjadi ladang bisnis terlampau pragmatis bagi para kapitalis.

Coba perhatikan konten berita berbagai media saat ini. Mayoritas isi beritanya bukanlah isu yang strike terhadap kebijakan pemerintah, maupun yang sejenisnya semisal berita terkait perkembangan kasus korupsi dan sebagainya. Sebagian besar kontennya berisi hal-hal tidak penting untuk masyarakat, namun sangat penting bagi keberlangsungan korporat.

Konten yang ada hanyalah kebanyakan berupa hiburan-hiburan tidak mendidik. Dan di sisi pemberitaan, sangat kental keberpihakannya terhadap pemilik modal yang mempengaruhinya. Mungkin sebagian kita sudah pernah mengetahui guyonan di media sosial yang mengatakan bahwa stasiun televisi penghancur lawan politik adalah Metro TV dan TV One yang getol memborbardir lawan politik bosnya dengan berita tidak berimbang. Sedangkan penghancur mental generasi muda adalah SCTV, RCTI, Indosiar dan sebagainya yang doyan menayangkan sinetron cengeng bin alay.

Di dunia maya, situs-situs berita pun tak kalah menelnya. Selain pemberitaan yang sarat kepentingan, juga bertebaran konten-konten pengikis moral. Sebagian situs berita daring bisa dipastikan menyisipkan berita-berita amoral dalam konten situsnya. Mulai dari berita pemerkosaan, kakek berbuat mesum, hingga pelajar menghamili temannya.

Berita seperti ini mungkin bisa dibilang wajar. Tapi kenyataannya berita-berita tersebut justru sengaja dibuat dengan judul yang provokatif dan cukup menggoda birahi anak muda. Sebenarnya peristiwanya biasa saja. Namun di dalam pemberitaannya sampai dijelaskan kronologis hingga mendetil. Selain hal tersebut, konten yang lebih kepada urusan pasangan suami-istri pun lumrah disajikan dan sangat mudah didapatkan. Dan konon kabarnya justru konten-konten seperti ini yang menyumbang trafik pengunjung situs berita dengan jumlah cukup signifikan. Hal inilah sepertinya yang membuat kebijakan redaksi ngotot menyediakan ruang untuk konten perusak tersebut, semata demi meraup profit.

Maka apa jadinya jika berita seperti itu dibaca pula anak kecil di bawah umur? Mungkin ia belum paham apa yang ia baca. Tetapi niscaya hal tersebut pasti akan membentuk pola pikirnya dalam jangka menengah. Yang pada akhirnya, berita-berita seperti itu akan merasuki kelakuannya, seperti tak ubahnya lingkungan mainnya yang membentuk kepribadiannya.Berita-berita tidak berimbang seperti itu pulalah yang sejatinya menyumbang kebodohan masyarakat. Orang-orang baik diputarbalikkan citranya sebagai penjahat. Dan para bandit dipuji-puji sebagai penebar kebaikan hingga masyarakat dibuat percaya sepenuhnya. Dan pada akhirnya semuanya telah menjadi semrawut, sehingga kita tidak lagi bisa mengidentifikasi siapa sebenarnya serigala siapa gembala.

Maka, sepertinya tidak ada yang lebih baik daripada mulai dari sekarang matikan televisi di rumah kita jika tidak perlu. Cerdas-cerdaslah mengkonsumsi berita. Jangan mudah percaya apa yang baru kita telan. Kunyahlah perlahan, kroscek ke penyedia informasi lainnya -kepada afiliasi yang berbeda tentunya. Dan sebelum menyantap sajian informasi media massa, berdoalah. "Audzu billahi minal media nirrajiim..." Aku berlindung kepada Allah Swt dari media yang terkutuk. Wallahu A'lam.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...