Label

Kamis, 14 Juni 2012

Para Aktivis (seharusnya belajar) Individualis

gambare seko: jaringnews.com
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar kata aktivis?

Dan apa pula yang akan muncul dalam imajinasi kita saat kata tersebut disandingkan dengan sebuah frasa kuliah lama?

Yah, sangat bertolak belakang memang. Dalam sebuah diskusi, saya pernah mendapatkan sebuah arti dari kata aktivis tersebut, yakni orang-orang yang selalu galau akan permasalahan yang ada di sekitarnya, dan dengan itu melakukan perubahan secara terorganisir. Luar biasa, sungguh wah memang definisi kata aktivis tersebut.

Namun mengapa jika kita coba iseng sandingkan kata tersebut dengan frasa yang kedua, menghasilkan perspektif yang negatif?

Sepertinya jaman belum banyak berubah, memang. Jika dulu aktivis identik dengan kuliah yang lebih lama dari mahasiswa umumnya, maka kini sebenarnya tak jauh berbeda. Dulu, masa kuliah 7 tahun merupakan sesuatu yang biasa, karena angka tersebut merupakan batas minimal. Maka lumrah jika dahulu banyak ditemukan mahasiswa yang kuliah hingga 10 tahun.

Kini, memang angka 7 tahun tersebut tetap menjadi standarnya. Tetapi angka tersebut menjadi batas maksimal. Hal yang statisnya adalah bahwa aktivis masih saja identik dengan kuliah yang lebih lama dari mahasiswa umumnya. 
Para aktivis tetap saja, memiliki masa mukim kampus yang lebih lama. Kalau ada yang bilang sekarang sudah berubah, aktivis tidak lagi identik dengan kuliah lama, maka itu bohong. Bohong jika ada aktivis yang kuliahnya lebih cepat. Juga bohong, jika ada mahasiwa yang kuliah cepat, mengaku sebagai aktivis.

Seorang aktivis memang telah memilih untuk memilih, bahwa ia di kampus ia tidak hanya kuliah. Ia melakukan aktivitas-aktivitas yang menurut sebagian orang tidak bermanfaat, tapi ia sadar hal yang ia lakukan memang sangat kecil sekali peranannya pada perubahan bangsa. Tetapi ia sadar, sumbangsih terkecilnya tersebutlah yang justru akan mengakumulasi dengan sumbangsih para aktivis lainnya, sehingga menjadi susunan bata kontribusi.

Kembali ke judul tulisan ini. Sudah selayaknya memang, para aktivis untuk tidak hanya memikirkan orang lain saja. Aktivis jangan terlalu galau dengan permasalahan bagaimana jadi organisasinya, seandainya ia tidak hadir dalam sebuah agenda saja. Pemikiran ini benar. Tetapi kadang harus ditakar ulang agar lebih proporsional. Sehingga dirinya pun mendapatkan perhatian dari dirinya sendiri.

Saya tidak meragukan betapa besar sumbangsih para aktivis kampus yang berkecimpung dalam pergerakan dan dakwah ini. Tetapi terkadang saya pun iba melihat mereka yang kuliahnya sudah lewat masa 5 tahun, tetapi beban kuliahnya masih menumpuk. Bahkan, saya menemukan tokoh ikon sebuah organisasi kampus yang namanya besar di mata mahasiswa, bahkan terkenal sebagai motivator pula. Namun faktanya, ia tidak menyelesaikan kuliahnya.

Memang, saya tidak menutup diri bahwa diri pribadi saya juga  ternyata terlalu asik dengan dunia organisasi, dan kuliah saya pun sedikit kacau. Meskipun, saya tidak pernah berani menyebut diri saya seorang aktivis. Karena saya sadar, kontribusi dan kinerja saya masih sangat kecil dan belum layak untuk disebut seorang aktivis. Saya hanya berani menyandang kata tersebut jika dipanjangkan menjadi sebuah plesetan “aktif tapi dompet tipis.” (“,)

Sudah sewajarnya, para aktivis untuk belajar individualis. Mereka pun harus proporsional memikirkan diri mereka pribadi. Karena, siapa lagi yang akan mengerjakan tugas-tugas kuliah mereka, mengerjakan soal-soal ujian mereka, dan mengisi presensi kuliah mereka jika bukan mereka sendiri? Toh, bukankah sebuah organisasi kampus pun memiliki sistem pengkaderan, sehingga dengan absennya mereka dalam sebuah agenda dapat ditutupi oleh peran-peran mereka yang lain.

Bisa dipahami, cukup rumit memang, ketika seorang aktivis harus memilih diantara dilema. Semisalnya saja. Suatu ketika, ia mengikuti sebuah kegiatan jalan-jalan (atau sebut saja ke pantai :). Sedangkan, ia tahu besok ia akan ada ujian, dan itupun salah satu mata kuliah yang tersulit. Maka, pada saat ia sedang dalam agenda kebersamaan tersebut, raganya memang disana, tetapi hatinya menerawang jauh ke ganjalan permasalahannya. Ia pasti galau dalam hati, dan mungkin berkata “Bagaimana besok bisa mengisi ujian, sedangkan seharusnya hari ini ia belajar lagi, bukannya malah santai-santai begini? Dalam senyumannya, tersirat kegalauan. Indahnya pemandangan seolah berubah menjadi lautan soal ujian. Teman-temannya seolah menjelma dosen yang sedang mengawasi hasil pekerjaan. (lebay)

Sekali lagi, sudah selayaknya para mahasiswa yang mengaku maupun sedang belajar untuk menjadi aktivis, untuk sedikit belajar lebih individualis. Memang sebuah keharusan untuk menjadi seorang yang optimis dan berkata “saya bekerja bukan untuk diri saya sendiri, maka saya yakin Allah tidak akan melupakan saya. Semoga kuliah saya dipermudah oleh Nya.”  Tetapi sebagai manusia yang tak luput dalam kausalitas, sudah semestinya juga untuk realistis. Bukankah kita pun tahu bahwa “Tuhan tidak akan memberikan kelulusan kuliah suatu orang, jika seseorang itu tidak mengupayakan kelulusannya.”

Dan juga sebuah kemestian, bagi rekan-rekannya tersebut untuk memaklumi keabsenannya. Bukankah indah, jika bisa berbagi bersama saat sama-sama mahasiswa, maupun ketika sama-sama sudah bergelar sarjana?

Sebuah gelar sarjana memang bukan segalanya. Tapi segalanya berawal dari bla-bla-bla… (aransemen kalimat). Bukan. Tetapi, dari sana lahir pengharapan para orang tua. Atau ada yang bilang: “Segeralah wisuda, karena masih banyak yang membutuhkanmu di marhalah selanjutnya.” Kalau sudah begitu, Maka…

Ahh, sudahlah. Saya tak tahu lagi mau bilang apa. Selamat mengejar asa. Jangan lupa doa! Wassalam…

imej: mbah google


*teruntuk setiap mahasiswa tingkat akhir: laa takhof walaa tahzan, Tuhan bersama mahasiswa tingkat akhir!



1 komentar:

Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...