Label

Jumat, 08 Juni 2012

Memilih Pemimpin Bernurani

image source:
febrian-np.blogspot.com
Adakah kini kita temui, sesosok pemimpin bersahaja negeri ini, seperti Soekarno, diatas meja makannya ia pasang lukisan seorang pengemis, agar dia dapat selalu ingat saat menyantap sayur lodeh, tahu, dan tempe kesukaannya, bahwa rakyatnya masih ada yang kelaparan.

Atau masihkah kini kita jumpai seorang pribadi yang tegas, tak malu dengan sebuah identitas layaknya Agus Salim. Saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, ia memakai sarung, peci hitam, dan dengan percaya diri menghisap rokok kretek di antara kumpulan petinggi penjajah tersebut. Saat diprotes karena bau menyengat dari rokoknya tersebut, dia dengan mantap berujar: “Tuan tuan, benda inilah yang membuat tuan-tuan datang dan menjajah negeri kami”


Nampaknya kini sekelumit contoh kesederhanaan dan kesahajaan di atas akan sangat sulit kita temui, yang banyak kita temukan dari pemimpin kita justru sikap-sikap yang senantiasa mengerdilkan bangsa kita sendiri.
Yang akan kita sering jumpai tokoh-tokoh yang tak tahu malu dan tak tau kadar diri. Semua itu merentang dari perbuatan melakukan kesalahan hingga mengelak dari kesalahan dan tak hendak mengakuinya. Kini lumrah kita lihat pertunjukan kekerdilan bangsa. Jumpa pers yang digelar kebanyakan untuk membela diri. Sumpah menyebut nama anak dan istri di depan seluruh rakyat Indonesia di dalam siaran televisi. Pidato politik yang sangat melankoli untuk mengubah kesalahan menjadi undangan gelombang simpati. Sampai perdebatan yang berujung caci maki antar intelek-intelek dalam negeri.

Kini rakyat kita sebenarnya sangat merindukan sosok pemimpin yang mengayomi, melayani, dan rendah hati. Meskipun sepertinya kedengaran utopis, tapi bukannya tidak mungkin peristiwa di jaman sahabat rasul terulang di jaman masakini. Dapat kita bayangkan betapa mengharukannya jika saat sedang berjalan di malam hari, tiba-tiba kita jumpai walikota atau bupati kita sedang diam-diam mengendap, memanggul sekarung beras kearah rumah seorang warganya yang mana anak-anaknya kedapatan menangis kelaparan, menunggu ibunya menggodok batu untuk makan malam mereka. Atau mungkin, di pagi hari di sudut pasar, kita temui sosok seorang gubernur yang sedang duduk berjongkok menyuapi makan seorang pengemis yang buta, dan bahkan setelah bertahun-tahun sang buta tersebut disuapi makan setiap pagi, ia tak pernah tahu bahwa yang menyuapinya adalah seorang pemimpin daerahnya. Sosok pemimpin seperti ini bukan untuk kita cari, tapi bisa kita hadirkan ditengah-tengah masyarakat kita, dengan menciptakannya dari diri kita sendiri-sendiri.

Perspektif pemimpin di mata bangsa ini sepertinya telah bergeser, dari seorang yang semestinya melayani, kini menjadi rebutan kursi layaknya jual beli komoditi. Untuk menjadi seorang pemimpin kepala daerah, tak perlu sosok yang bersahaja, berpengetahuan luas maupun pribadi pemimpin yang mengayomi. Kini seorang artis pun dapat mencalonkan diri menjadi pemimpin kepala daerah, asalkan ia punya uang, cukup untuk membeli “perahu” yang akan mengangkutnya, beres semua urusan. Tak peduli pakah ia seorang yang berpenampilan tidak sopan di depan publik, maupun sebagai sumber pemberitaan negatif  infotainment.

Jika dahulu seorang pemimpin didaulat oleh masyarakatnya karena kearifan dan kebijaksanaannya, kini seorang pemimpin tak harus berniat baik, asalkan ia mampu meraih suara pada saat pemilu, ia akan otomatis terpilih. Dan kebanyakan para tokoh yang mencalonkan dirinya tersebut sebagai calon pemimpin kepala daerah, tidak mau berkaca, dan menilai ulang niatannya menjadi pemimpin. Orientasinya kebnyakan bahwa menjadi pemimpin kepala daerah yaitu untuk menguasai daerah kuasaan tertentu, mengelola sumber daya daerahnya, untuk menghasilkan keuntungan dan ketenaran bagi dirinya maupun kelompok dan keluarganya.

Watak dan budaya buruk seperti ini harus segera kita kita counter dari sekarang, karena kalau kita tidak mau perhatikan permasalahan ini, maka kelak nilai arti dari sebuah kepemimpinan akan benar-benar berubah, menjadi sebuah nilai komoditi untuk menentukan siapa yang berkuasa maka ia yang mengendalikan sumberdaya, dan ia pasti akan menjadi kaya. Jika nilai kepemimpinan ini sudah bergeser, bukan untuk melayani,tapi hanya sekedar memimpin dan berkuasa, maka permasalahan-permasalahan bangsa yang senantisa kita dapatkan hari ini akan semakin kompleks, dan semakin akut, bahkan menjadi kelumrahan. Misalnya, setiap bantuan pemerintah yang dibagikan ke tangan rakyat miskin sangat buruk kualitasnya, padahal kata pejabat yang berwenang bahwa bantuan yang diberikan adalah yang terbaik. Untuk saat ini kita masih banyak yang protes dengan kejadian-kejadian semacam ini. Namun jika kelak nilai kepemimpinan benar-benar telah menjadi suatu komoditas, maka berita seperti ini akan semakin bertebaran di telinga kita. Rakyat miskin akan sengaja dipaksa untuk menjadi pijakan kaum pejabat, dan lama-kelamaan rakyat pun akan rela menerima semua pembodohan dan penindasan seperti ini, karena telah terlampau lama pesimis dengan keadaan.

Ada baiknya jika para tokoh-tokoh yang mencalonkan sebagai pasangan walikota-wakil walikota Bandar Lampung, maupun pasangan kepala daerah-kepala daerah saat ini, mau introspeksi dan berkaca diri, sudahkah ia yang mencalonkan diri sebagai pemimpin Bandar Lampung ini, memberikan teladan yang baik bagi masyarakat sekitar di tempat ia tinggal, atau sudahkah ia meluruskan niatnya untuk apa ia mencalonkan diri sebagai walikota. Karena, kalau para pemimpin kita ini tidak mau berubah dari sekarang, maka kapan lagi bangsa ini akan menjadi leih baik? Karena pada dasarnya, perubahan yang paling berpengaruh bagi suatu masyarakat itu harus dimulai dari levelan paling aatas, para pemimpinnya. Kalau para pemimpin kita terus saja terlena dengan kekuasaannya, tanpa mau berubah dari sekarang, maka bukan hanya kita saja yang akan mengalami sengsara berkepanjangan ini, tetapi juga anak cucu kita akan merasakan kesusahan yang kita rasakan seperti ini. Bahkan anak cucu para pemimpin kaya pun akan ikut sengsara akibat bobroknya sistem dan peradaban kehidupan lingkungannya, meskipun mereka memiliki kekayaan yang berlimpah dari ayah-kakeknya tersebut.

Kebiasaan buruk membangun citra diri secara instan, seperti banyak-banyak “bersedekah” dan menuruti setiap kebutuhan masyarakat di daerah-daerah kekurangan, semestinya tidak senantiasa digunakan saat hendak mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah. Karena ini bukanlah membangun, tetapi hanya akan menimbulkan mental masyarakat yang kerdil, sangat suka yang instan-instan, dan dapat menimbulkan efek pembodohan dan penghinaan terselubung. Saya sangat setuju dengan pendapat  Maulana Mukhlis pada tulisannya Paradoks Pembangunan Sosial, di Lampung Post edisi 17 April 2010.

Memang tidak pula salah, memberikan perhatian kepada masyarakat, menyantuni orang-orang yang terpuruk dalam kemiskinan, dan berbagai macam bantuan sosial lainnya. Itu semua memang hak setiap orang untuk melakukannya. Tetapi memberikan bantuan dan perhatian kepada masyarakat miskin pada saat ada kepentingan saja, ini merupakan suatu sikap tidak ikhlas, yang hanya akan melahirkan “kemunduran Peradaban”. Hal ini akan menampakkan dan semakin memperjelas bahwa kita orang-orang kaya semakin tidak beradab kepada orang-orang yang kesusahan, dan dengan terang kita menjadikan kemiskinan sebagai komoditas yang bisa kita jual demi naik tahta. Dan memang, komoditas kemiskinan ini senantiasa laku, dan hingga kini masih ampuh untuk membodohi para pemilih yang serba kuarang uang- kurang pendidikan.

Yang harus kita ingat, untuk segera keluar dari krisis multi dimensi kehidupan bangsa ini adalah, Setiap manusia adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Inilah seharusnya yang senaniasa kita bangun dalam setiap amanah yang kita pegang. Jika setiap kita sebagai pemimpin memancangkan nilai-nilai ini dalam diri, maka mudah-mudahan akan berkurang daftar koruptor di negeri ini, berkurang orang-orang yang memungut uang rakyat demi kantong pribadi, dan pejabat yang rela menjual tanah rakyat tanpa hati nurani. Seorang pemimpin haruslah mmencintai rakyatnya, pemimpin juga harus tahu bagaiman keadaan rakyatnya, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Pemimpin yang baik akan selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya dan mengenyampingkan kepentingan dirinya sendiri. Yang menjadi prioritas utamanya adalah bagaimana mensejahterakan rakyatnya.

Bukankah kita semua sebenarnya begitu merindukan cerita seperti ini di negeri ini? Sesosok pemimpin kala itu, Bung Hatta. Ia hadir dengan kesederhanaannya yang tak tertandingi. Saat gajinya sebagai wapres akan dinaikkan, dia dengan tegas menolak. Katanya “Keuangan negara tidak cukup kuat, sementara masih banyak rakyat yang memerlukan uang itu.” Atau paling tidak seperti Umar, ketika pada suatu malam didatangi seorang tamu, yakni seorang gubernurnya. Ia mematikan lampu lilin yang menerangi mereka di dalam ruangan tempat mereka berbincang, sehigga membuat sang gubernur heran. Umar dengan tawadhu menjelaskan, bahwa lilin yang ia matikan tersebut adalah harta milik rakyat, yang didapat dari uang rakyatnya. Saat mereka berbincang tentang urusan mereka, maka dinyalakanlah lilin tersebut. Namun saat menyimpang ke permasalahan pribadi, ia akan mematikannya, karena itu bukanlah hak mereka untuk menggunakannya. 


Luar biasa indahnya, jika kita bisa membangun nurani pemimpin seperti mereka. Kini sudah saatnya kita membangun peradaban, bukan kekayaan!

***
*Nostalgia arsip tulisan lama, Opini Lampost edisi?
how is it so bad? yhea! hhee...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...