Label

Jumat, 01 Juni 2012

Sebuah Konsep Pendidikan Ideal

image source: www.antarabali.com
Pengumuman kelulusan UN selalu menghadirkan dua sisi emosional yang sangat kontras. Di satu sisi, hampir sebagian besar pelajar yang mendapatkan kelulusan terutama di kota besar merayakannya dengan suka-ria dan hura-hura yang berlebihan. Mulai dari konvoi kendaraan beramai-ramai, hingga mencoret-coret baju seragam. Di lain pihak, para pelajar yang tidak lulus menangis sejadi-jadinya, hingga tak jarang kita dapatkan berita percobaan bunuh diri karena frustasi.


Dua sisi perilaku para pelajar kita seperti ini sangat disayangkan. Dunia pendidikan seharusnya jauh dari bingkai kejadian seperti diatas. Semestinya pendidikan mampu menciptakan karakter pelajar-pelajar dengan pemikiran logis, serta mampu membentuk insan-insan terdidik dengan emosi cerdas.


Dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945 dengan jelas disebutkan sebuah alasan dibentuknya sebuah pemerintahan negara Indonesia yaitu “…Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…” Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indoneisa (KBBI), cerdas itu bermakna sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran. Disini jelas, ada dua elemen yang disebutkan, yaitu akal, dan budi. “Akal” tentu merujuk pada hal intelektualitas. Sedangkan kosakata “budi”, merujuk pada hal terkait perilaku, moral dan karakter.

Bahkan terkait pendidikan ini, amandemen keempat UUD 1945 lebih spesifik menjelaskan dalam Bab 13 pasal 31 ayat 3: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Sangat jelas cita-cita dan semangat Undang-undang Dasar atas pendidikan kita, yakni bukan sekedar pembentukan intelektualitas semata, tetapi juga budi pekerti luhur- akhlak mulia. Namun dalam taraf pelaksanaannya ada yang salah, sehingga pendidikan kita kehilangan orientasi yang seharusnya, character oriented, tetapi hanya sebatas output hasil semata yang berupa angka-angka.

Ahmad Baedowi menyebutkan dalam Kompas (25/4/2011) berdasarkan studi Elmore and Fuhrman (2011) ditemukan bahwa efek pengujian semacam UN hanya akan membuat para guru bekerja lebih keras dan meluangkan waktu lebih banyak, tetapi bukan untuk meningkatkan mutu proses belajar-mengajar, melainkan untuk nilai semata-mata.

Orientasi yang salah inilah yang menjadikan bangsa kita tidak kunjung bangkit dari keterpurukan permasalahan. Penyakit akut kemiskinan dan korupsi terus menggelayuti masa depan bangsa kita karena pendidikan kita terjebak dalam orientasi pragmatis, sehingga tergiur untuk mencapai tujuan dengan cara-cara praktis. Kecerdasan intelektual diraih, namun mental para anak bangsa kering dan hampa tanpa karakter.

Erie Sudewo dalam bukunya Character Building (2011) secara gamblang menggambarkan betapa pentingnya elemen karakter. Ia menyatakan “Tanpa karakter, manusia pun bisa unggul dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Namun semakin dia cerdas, semakin tinggi kedudukannya, dan semakin kaya, maka semakin jahatlah dirinya. Sebab orang yang unggul tanpa karakter, yang muncul adalah tabiatnya. Sifat-sifat buruknya sebagai perilaku sehari-hari.”

Sebuah pendidikan ideal
Selama ini sekolah formal semacam SMP dan SMA selalu menjadi tujuan utama orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan sekolah-sekolah nonformal semacam asrama dan pondok pesantren selalu menjadi pilihan terakhir. Dengan alasan-alasan yang cukup lumrah dan manusiawi, pondok pesantren mendapatkan predikat sebagai sebuah lembaga pendidikan yang kolot, kumuh, dan jauh dari kemajuan jaman.

Ada berbagai kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki oleh sekolah nonformal dan pondok pesantren. Sekolah formal cenderung menghasilkan lulusan-lulusan yang melek terhadap dunia luar dan memiliki output intelektualitas yang lebih, namun cenderung hampa karakter. Sebaliknya, alumni pondok pesantren cenderung memiliki karakter yang kuat, namun gagap terhadap perkembangan dunia luar, dan kemampuan intelektualitasnya di bawah sekolah formal.

Dan kenyataannya adalah selama ini sekolah formal tidak mampu mengemban tugas untuk memberikan kebutuhan pendidikan karakter kepada para pelajar. Mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan pun semakin tahun kian berkurang porsinya. Hal yang semakin membuat miris adalah selain asupan mata pelajaran tersebut semakin sedikit, para pendidik pun tak mampu menerapkan nilai-nilai moral dalam setiap interaksi nyata terutama pada pertemuan-pertemuannya di kelas.

Setiap pertemuan di kelas para guru cenderung hanya sekedar menunaikan kewajiban menyampaikan materi, dan abai terhadap nilai. Setelah selesai menyampaikan mata pelajaran, maka interaksi antara guru dan murid pun berakhir sampai saat itu juga. Proses pembangunan emosional antara guru-murid nyaris tak ada. Padahal proses pembentukan emosional dan pembentukan karakter hanya bisa dilakukan melalui interaksi massif yang bukan sekedar basa-basi. Hal inilah yang justru ada di dunia pondok pesantren.

Perkara teknis pengimplementasian amanat Undang-undang Dasar inilah yang seharusnya ditekankan oleh pemerintah, terutama kementerian pendidikan. Pemerintah harus mampu menggabungkan metode pembelajaran antara pendidikan nonformal pondok pesantren dengan pendidikan formal modern. Sehingga, pendidikan kita tidak hanya sekedar penanaman intelektualitas semata, tetapi juga penanaman karakter. Dengan begitu, maka kenakalan-kenakalan pelajar bisa segera terhapus, dan tumbuhlah pelajar-pelajar yang cerdas nan santun.


2 komentar:

  1. ujung akar dari hilangnya karakter itu bisa jadi akibat jasa sekulerisme yang memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan, di tambah kebijakan pemerintah yang terus menggaungkan program kecerdasan diatas kertas seperti UN. dan akhir ini Jaringan Sekolah Islam Terpadu mencoba menjawab kegalauan itu dengan menciptakan kurukulumnya sendiri, melawan sekulerisme dan membangun karakter yang kuat pada anak-anak didik mereka. namun permasalahan kedua timbul, kecenderunga JSIT adalah mahal dan sulit terjangkau...

    BalasHapus
  2. peran besar sekularisasi, terutama melalui arus globalisasi.
    pendidikan makin tak berarti.
    bahkan negara kita yang notabene bukan sekuler pun, jelas2 menjadi sekuler karenanya...

    BalasHapus

Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...