Label

Rabu, 29 Agustus 2012

Pergeseran Gaya Hidup Ikhwah

Ada yang berubah dari diri para ikhwah. (Sebenarnya, tidak ada yang salah pada perubahan. Dan memang, perubahan itu adalah sebuah kepastian. Karena di dunia ini tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri).
Saat kehidupan mapan, kadang membuat cara hidup yang agak berlebihan. Perilaku makan pun berubah. Makan di rumah makan mewah, sudah mulai menjadi sebuah kelumrahan. Setiap ada acara perkumpulan, cenderung diadakan di tempat makan yang mana harga makan satu porsinya setara dengan jatah makan beberapa hari ke depan.
Mencari tempat variasi makan pun bukan lagi sekedar warung makan sekelas anak kosan; Kampung Baru, Kopi, dan sekitarnya. Warung pak Adib, ibu Ros, mbak Ida, tempe bogem Uda, Kantin Sehati, dan sebagainya sudah mulai dihapus dari list kunjungan. Kini, berganti dengan KFC, Pizza Hut, Ayam bakar Syafei, Ayam Penyet Hang Dihi, Rumah Kayu, Gubuk Mas, Kampung Kelapa, hingga Pondok Bambu.

Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya, bagaimana rasanya duduk makan ayam goreng lisensi dari Kentucky, ditemani minuman kola. Kala itu Ramadhan, saya diajak seorang rekan mencari makan menjelang tengah malam. Dikelilingi anak-anak muda yang setelah makan, kerjanya hanya mengobrol ngalor ngidul bersama kawan-kawannya, hingga lewat tengah malam. Seolah-olah mereka hampa harapan.
Untuk tempat makan seperti ini, salah seorang al-Akh pernah berujar bahwa jika ada ikhwan yang makan di tempat ini, maka perlu dipertanyakan. Saya sempat kaget, karena saya baru saja melakukan hal tersebut. Tapi saya setuju dengan pernyataan al-Akh tersebut.
Bukan tidak boleh makan di tempat seperti ini. Label halal dari MUI tentu sudah dikantongi oleh restoran siap saji tersebut. Mungkin tepatnya adalah kurang pantas. Saat saya bersama rekan tadi memesan Ayam Goreng beserta nasinya, minuman kola, dan sepotong burger, saya sedikit terhenyak dengan bill yang berjumlah kalau tak salah hampir seratus ribu rupiah untuk porsi kami berdua tersebut.
Saya berpikir, bukankah harga itu sebanding dengan jatah untuk saya makan beberapa hari kedepan. Atau, juga bisa untuk makan puluhan anak-anak yatim di Panti Asuhan. Dan saya berpikir, untuk satu kali makan di sini, saya bisa. Namun jika harga tersebut dikeluarkan untuk satu kali infaq, pasti alangkah berat rasanya. Sungguh, boleh-boleh saja. Hanya saja, saya berpikir ini tidak pantas bagi saya. Dan saya rasa, tentu kurang pantas untuk orang-orang yang menyematkan embel-embel ikhwah pada dirinya. Ini melukai mereka di sekeliling kita yang tidak mampu membeli makan, setiap harinya.
Saya pikir hal seperti ini sudah semakin lumrah di kalangan ikhwah. Karena saya melihatnya sendiri. Dari foto-foto yang diunggah, terlihat para al-Akh yang dengan bangga, memamerkan momen mereka yang sedang berkumpul dan makan-makan di Restoran Rumah Kayu, Kampung Kelapa, dan sebagainya, dengan gaya sumringah. Dan, itupun bukan hanya kalangan ikhwan saja. Seringpula saya dapati kalangan akhwat yang mengunggah foto menu makan mereka, yang cukup wah. Seolah-olah, menu makan yang mewah tersebut menjadi sebuah kebanggaan. Tapi sayang, kita terkadang lupa dengan tetangga-tetangga yang masih kelaparan.
Saya tidak memungkiri, bahwa sayapun suka makan ditempat-tempat tersebut. Dari tempat-tempat makan berkelas yang ada di Bandar Lampung seperti yang saya sebutkan tadi, sudah hampir semua saya rasakan. Baik yang dari menghadiri undangan diskusi, pertemuan, maupun dari ikut makan bersama kawan-kawan. Tapi, setiap makan di tempat-tempat seperti itu, hati saya selalu bertanya, mengapa kita harus makan di sini? Pantaskah, disaat orang lain mungkin tak punya nasi?
Wallahu A'lam...







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...