Label

Kamis, 01 November 2012

Waspada Pemancing Isu etnis di Air Keruh

Pada edisi 21 september 1967, Harian Angkatan Bersenjata memberitakan bahwa ada Sembilan orang Dayak diculik kelompok GTK (Gerombolan Tjina Komunis). Dua hari kemudian, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menemukan mayat mereka. Beberapa hari kemudian , di Koran yang sama, juru bicara Kodam XII Tanjunjgpura mengatakan bahwa , “ Dayak seharusnya menuntut balas, darah dengan darah.”  
***
Kala itu Soekarno sedang menggelorakan Komando Dwikora (Ganyang Malaysia). Dalam komando tersebut, ada dua kelompok gerilyawan lokal yang mendukung penuh sikap Jakarta tersebut: Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Dua kelompok ini  merupakan pendukung komunis yang terdiri dari etnis Tionghoa yang tinggal di wilayah Kalimantan yang saat itu sedang disengketakan antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Mereka menolak hegemoni Barat yang hendak mendirikan negara federasi Malaysia. TNI bersinergi dengan dua kelompok gerilyawan ini dalam  mengusir tentara-tentara Inggris dan sekutu pro-Malaysia di Kalimantan.

Namun situasi berubah drastis ketika Soekarno ditumbangkan oleh Soeharto. Rezim Soeharto yang jauh berbeda, pro-Barat , seketika menghentikan operasi Ganyang Malaysia tersebut. Dan para gerilyawan lokal tadi yang notabene pro-komunis, oleh tentara diminta untuk melucuti senjata. Alih-alih menurut, karena mereka mengerti apa yang terjadi dengan orang-orang komunis di Jawa, maka mereka melawan.

Gerilyawan ini sangat paham medan, sehingga sangat sulit ditaklukkan. Selama operasi militer disana antara 1965-1967, sangat banyak korban di pihak tentara berjatuhan. Selain itu, PGRS-Paraku ini mendapat dukungan logistic dari warga setempat. belum lagi TNI yang banyak melakukan kejahatan kemanusiaan atas penduduk sipil, sehingga simpati semakin berpihak pada gerilyawan tersebut. hal ini persis seperti keadaan operasi militer terhadap GAM di Aceh.

***
Dengan kelelahan tersebut, maka Jakarta pun memainkan permainan politik dengan menghembuskan sentiment etnis. Sebenarnya, Suku Dayak sebagai Pribumi Kalimantan telah menjalani hidup rukun berdampingan dengan etnis Tionghoa selama ratusan tahun. Namun, dengan cara licik, tentara berlatar belakang rezim Soeharto tersebut memainkan orang-orang Dayak sebagai bidak untuk memberantas gerilyawan tersebut. Tentara memprovokasi orang-orang Dayak dengan cara menghembuskan kabar bahwa PGRS-Paraku telah membunuh orang-orang Dayak dengan cara mutilasi. Setelah itu, konon di tubuh mayat ditemukan tulisan berhuruf cina.

Akan tetapi dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Erma SR, untuk Perkumpulan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PB HAM) di Kalbar beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya pada 2003, tertulis bahwa pernyataan meninggalnya sembilan orang Dayak tidaklah benar. Kepala Kampung setempat membantah klaim tentara yang disiarkan oleh Harian Angkatan Bersenjata tersebut. Memang ada Sembilan orang yang tewas, namun kesembilan orang tersebut adalah gabungan orang-orang Dayak, Cina, Melayu, dan  Bugis. Mereka adalah orang-orang yang tewas di Gunung Merbukan, setelah sebelumnya disuruh tentara untuk masuk ke Gunung menemui gerilyawan.

***
Peristiwa pertumpahan darah antar etnis ini saya resume dari bagian buku Dandhy Dwi Laksono yang berjudul Jurnalisme Investigasi. Beliau merupakan seorang jurnalis yang pernah berkecimpung di berbagai media massa, dan salah satunya RCTI. Pengalamannya di bidang liputan investigasi cukup mumpuni, dan karyanya pun banyak mendapatkan penghargaan. Salah satunya adalah sebagai Jurnalis terbaik Jakarta dari AJI untuk liputan investigasi terkait pembunuhan Munir. Dalam bukunya ini, dikupas teknik-teknik liputan investigasi secara lugas. Juga dilengkapi dengan berbagai macam pengalaman investigasi baik oleh dirinya pribadi maupun pengalaman para wartawan.


Ketika berita pecahnya kembali perang antar etnis di Lampung Selatan beberapa hari lalu tersiar, saya tergelitik. Seperti pas dengan apa yang sedang saya baca, peritiwa ini terjadi ketika saya menyimak bagian sejarah perang antar etnis di Indonesia yang terjadi di Kalimantan tersebut. Dalam clash antara Dayak dan Tionghoa tersebut, terdapat provokasi melalui upaya kesengajaan penciptaan missinformasi.

Membaca berita terkait perang etnis Lamsel kemarin, masih menyisakan tanda tanya mengganjal dalam benak saya. Dalam berita yang beredar, disebutkan bahwa adanya gadis Lampung mengendarai motor yang ketika melintas, digoda oleh para pemuda Bali. Apes, gadis tersebut terjatuh. Dengan alasan menolong, para pemuda tersebut membantu gadis yang terjatuh tersebut. Akan tetapi gadis ini menyatakan bahwa ia bukan sekedar ditolong oleh mereka, namun dirinya merasa dilecehkan karena ia merasa lebih dari disentuh ketika ditolong saat itu.

Dalam situasi seperti ini, sangat dibutuhkan kejernihan berpikir dari kedua pihak, Lampung dan Bali. Kengototan salah satu pihak atas informasi yang belum sepenuhnya sempurna, tentu akan berujung pada pembenaran masing-masing pihak. Dalam keadaan kengototan klimaks disertai kemarahan membuncah, maka pertumpahan darah akan pecah seketika. Maka untuk menghindari peperangan tersebut, sangat diperlukan usaha rekonsiliasi (penyamaan persepsi duduk permasalahan) kedua pihak berseteru melalui pihak ketiga. Dalam hal ini pihak ketiga adalah aparat keamanan dari kepolisian maupun tentara.

Yang menjadi permasalahan adalah, sudahkah proses rekonsiliasi tersebut terjadi secara optimal? Jika pihak ketiga memang benar-benar telah melakukan intermediasi tersebut, sudahkah pula melakukan tindakan-tindakan preventif di masing-masing pihak bertikai? Bukankah juga seharusnya peran intel bisa dimaksimalkan dalam meredam perpecahan tersebut?

Nah, hal ini yang menjadi tanda tanya besar, mengapa perseteruan etnis antara Lampung dan Bali ini bisa terjadi untuk kedua kali, di wilayah yang sama pula. Kita sebagai kalangan terdidik dan mampu berpikir secara logis, patut mempertanyakan apa sebenarnya di balik yang sedang terjadi di Lampung ini. Apakah ini sekedar kejadian yang pecah begitu saja, atau jangan-jangan ada pihak-pihak yang sedang berusaha memancing ikan di air keruh. Pihak yang mendapatkan ikan tentunya adalah mereka yang paling mendapatkan keuntungan politik dari kejadian-kejadian ini. Terlebih mengingat agenda politik nasional 2014 kian dekat, yang juga hampir bersamaan dengan agenda politik daerah yang belum jelas penetapan kapannya. Dan juga melihat kenyataan bahwa belakangan ada pihak-pihak yang hendak menjadikan Indonesia ini kembali menjadi seperti pada masa orde baru, dengan memaksakan RUU Kamnas (Keamanan Nasional).

Meminjam istilah Lembaga Pers Unila, mari sebagai agen cendekia kita tetap berpikir merdeka! Dan jangan lupa, bahwa Damai Itu Indah… Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...