Sha-finah. Ya, namanya Sha-finah. Begitu ia kemarin mengucapkan namanya melalui bibirnya yang agak dimakhrojkan. Kubertemu dengannya di sebuah Stasiun di sebuah kota yang sejuk dan damai. Saat langit telah gelap dan mendingin. Ketika stasiun tersebut masih dipenuhi hingar-bingar orang yang lalu lalang datang dan pergi.
Kala itu ia termenung dengan pandangan menerawang di ujung bangku di ujung selasar. Sendirian. Dari balik tiang Stasiun, kulihat ia dari kejauhan. Matanya sendu, seolah sedang bersedih. Penasaran, tanpa bermaksud hendak mengusik, kucoba mendekatinya ada apa gerangan. Sekedar mencoba bersimpati.
Ku duduk di bangkunya, terpaut beberapa jarak. Sambil membaca buku novel tentang revolusi ku, aku coba beradaptasi sejenak dengannya. Sesaat kemudian aku menoleh ke arahnya, sembari kuulurkan coklat delfi dari saku mantelku. Kubuka percakapan dengan berkata lirih: "mau coklat? mungkin bisa sedikit menghangatkan,,,"
Iapun menoleh, tanpa ekspresi kaget sama sekali, seperti telah menyadari kehadiranku di dekatnya sejak awal. Seketika wajah datarnya berubah. Bibirnya mengembang senyum tipis. Tipis sekali, seolah dikerahkan dengan tenaga-tenaga sisa. "Terimakasih," ujarnya pelan sekali.
Percakapan pembuka tersebut mengawali perkenalan kami. Hingga kemudian sinar wajahnya benar-benar berubah. Dari sangat kelabu, menjadi merah merona.
Panjang percakapan kami. Mulai dari perkenalan, bercerita tentang kesukaan, hingga tentang perjalanan. Hingga akhirnya ia mencurahkan hatinya. Bahwa sesaat sebelumnya ia berpikiran hendak bunuh diri. Sambil sesekali menatap rel kosong di seberang. Suasana kemudian kembali hening antara kami beberapa saat. Untuk kemudian ia mulai tersenyum kembali memecah keheningan dan berkata "Tapi sepertinya niat itu salah. Mungkin masih ada kesempatan kan buatku??" tanyanya sambil menatapku.
Aku tak mampu menjawab pertanyaannya tersebut. Aku hanya mampu menyunggingkan senyumku kepadanya. Memberi isyarat peng-iya-an.
Seperempat jam berlalu, dan kami kembali saling hening. Aku bingung hendak melanjutkan percakapan apa lagi. Hingga akhirnya, kuberanikan diri menawarkan tumpangan perjalanan setelah stasiun berikutnya, atas tujuan kami yang sama. Ia hanya diam, sambil menatap mataku lekat-lekat. Lamma sekali. Sehingga membuatku kikuk...
***