Melintas di halaman belakang rektorat Universitas Lampung beberapa hari ini, hati menjadi miris. Ada apakah geranagn? Terlebih lagi kian miris saat kemarin tersiar berita di televisi baru saja terjadi gempa bumi 7.6 skala richter yang mengguncang Padang dan mengakibatkan 80 persen bangunan di sana hancur, sertea 400 jiwa meninggal dunia. Indonesia sedang berduka, permasalahan bangsa tak jua reda.
Sampai saat ini nasib bangsa Indonesia ini belum juga membaik, dan beranjak naik. Masih banyak sekali orang miskin kelaparan di kota-kota, para pemuda pengangguran, baik sudah sarjana maupun buta pendidikan di desa-desa. Dan bahkan musibah masih saja beruntun susul-menyusul menyapa Indonesia. Indonesia masih saja terus dalam keadaan berkabung dan berduka cita, semenjak tsunami Aceh, Lumpur Lapindo, gempa Jogja, gempa Tasikmalaya, hingga 7.6 skala richter menghancurkan Padang. Tapi banyak kalangan yang dengan sikapnya, tidak menyatakan turut bersedih hati, namun justru terlihat berfoya-foya saat saudaranya yang lain masih saja terampas haknya, dan dirundung malang musibah.
Hal ini terlihat saat saya melintas di lapangan rektorat Unila, saat permasalahan bangsa masih memiriskan hati, justru kalangan akademisi di sini dalam keadaan glamour penuh penghamburan dana -yang memang sih dananya sudah ada anggarannaya- untuk gelaran acara sekitar sepekan yang diadakan setiap tahun, dan cukup menguras dana yang banyak, dan mungkin jika dana tersebut dibuat untuk membantu orang-orang miskin di sekitar unila, cukup lah membuat mereka kenyang. Setiap hari, hingga saat ini masih ramai para anak kecil usia belasan tahiun berpakaian kumal, ingusan, bergerombol keliling fakultas, melintas kelompok-kelompok mahasiswa, dengan berbekal karung, mengais kotak-kotak sampah memulung botol-botol bekas. Dan masih setiap harinya pula kita jumpai di kampus tercinta ini, pengemis-pengemis tua, dan juga anak-anak kecil belia, masih dengan penuh harap sesuap nasi, menjulurkan tangkupan tangan sedikit mengiba memaksa, mencoba rejeki di setiap kerumunan mahasiswa.
Sepertinya nilai mulia Tri Dharma Perguruan Tinggi berupa pendidikan dan pengajaran, penalitian, dan pengabdian masyarakat, kini tidak jua memancarkan kemanfaatan kepada masyarakatnya. Di saat masih banyak masyarakat yang kesusahan, Unila dengan sukacita menggelar hajatan besar penuh dana, Dies Natalis Unila; Acara dengan panggung besar, dan berbagai stand pameran mengelilingi lapangan lebar, digelar di bawah tenda-tenda tarup. Nilai mulia Tri Dharma Perguruan Tinggi tadi seolah angan-angan, tidak pernah menyentuh masyarakat yang ada di sekitar Unila ini sendiri. Seharusnya, para pengemis, para pemulung cilik itu tadi bisa merasakan keindahan hidup mereka dari efek kehadiran perguruan tinggi yang memberikan solusi kepada masyarakat.
Melihat hal ini, mungkin, kita hanya bisa menanti, -namun entah sampai kapan- kebijakan Unila yang lebih banyak memberi arti, tak sekedar memberikan tarif masuk kita masih berharap optimis, bahwa Unila mengejar target Topten University tahun 2025, tidaklah hanya sekedar mengejar nama tanpa karya nyata bagi bangsa, apalagi melupakan tujuan utama nilai moral dan pendidikan bagi mahasiswanya. Dan pada akhirnya, salam perubahan buat bapak rektor Unila, semoga pendidikan kita dapat memberikan solusi bagi problem kompleks bangsa ini, dan dapat lebih menanamkan moral, serta arti dari tujuan sebuah nilai luhur pendidikan.
*terbit pada Surat Pembaca Lampung Post, 6 Oktober 2009
Sampai saat ini nasib bangsa Indonesia ini belum juga membaik, dan beranjak naik. Masih banyak sekali orang miskin kelaparan di kota-kota, para pemuda pengangguran, baik sudah sarjana maupun buta pendidikan di desa-desa. Dan bahkan musibah masih saja beruntun susul-menyusul menyapa Indonesia. Indonesia masih saja terus dalam keadaan berkabung dan berduka cita, semenjak tsunami Aceh, Lumpur Lapindo, gempa Jogja, gempa Tasikmalaya, hingga 7.6 skala richter menghancurkan Padang. Tapi banyak kalangan yang dengan sikapnya, tidak menyatakan turut bersedih hati, namun justru terlihat berfoya-foya saat saudaranya yang lain masih saja terampas haknya, dan dirundung malang musibah.
Hal ini terlihat saat saya melintas di lapangan rektorat Unila, saat permasalahan bangsa masih memiriskan hati, justru kalangan akademisi di sini dalam keadaan glamour penuh penghamburan dana -yang memang sih dananya sudah ada anggarannaya- untuk gelaran acara sekitar sepekan yang diadakan setiap tahun, dan cukup menguras dana yang banyak, dan mungkin jika dana tersebut dibuat untuk membantu orang-orang miskin di sekitar unila, cukup lah membuat mereka kenyang. Setiap hari, hingga saat ini masih ramai para anak kecil usia belasan tahiun berpakaian kumal, ingusan, bergerombol keliling fakultas, melintas kelompok-kelompok mahasiswa, dengan berbekal karung, mengais kotak-kotak sampah memulung botol-botol bekas. Dan masih setiap harinya pula kita jumpai di kampus tercinta ini, pengemis-pengemis tua, dan juga anak-anak kecil belia, masih dengan penuh harap sesuap nasi, menjulurkan tangkupan tangan sedikit mengiba memaksa, mencoba rejeki di setiap kerumunan mahasiswa.
Sepertinya nilai mulia Tri Dharma Perguruan Tinggi berupa pendidikan dan pengajaran, penalitian, dan pengabdian masyarakat, kini tidak jua memancarkan kemanfaatan kepada masyarakatnya. Di saat masih banyak masyarakat yang kesusahan, Unila dengan sukacita menggelar hajatan besar penuh dana, Dies Natalis Unila; Acara dengan panggung besar, dan berbagai stand pameran mengelilingi lapangan lebar, digelar di bawah tenda-tenda tarup. Nilai mulia Tri Dharma Perguruan Tinggi tadi seolah angan-angan, tidak pernah menyentuh masyarakat yang ada di sekitar Unila ini sendiri. Seharusnya, para pengemis, para pemulung cilik itu tadi bisa merasakan keindahan hidup mereka dari efek kehadiran perguruan tinggi yang memberikan solusi kepada masyarakat.
Melihat hal ini, mungkin, kita hanya bisa menanti, -namun entah sampai kapan- kebijakan Unila yang lebih banyak memberi arti, tak sekedar memberikan tarif masuk kita masih berharap optimis, bahwa Unila mengejar target Topten University tahun 2025, tidaklah hanya sekedar mengejar nama tanpa karya nyata bagi bangsa, apalagi melupakan tujuan utama nilai moral dan pendidikan bagi mahasiswanya. Dan pada akhirnya, salam perubahan buat bapak rektor Unila, semoga pendidikan kita dapat memberikan solusi bagi problem kompleks bangsa ini, dan dapat lebih menanamkan moral, serta arti dari tujuan sebuah nilai luhur pendidikan.
*terbit pada Surat Pembaca Lampung Post, 6 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^