Selepas sholat isya aku langsung meluncur dengan motorku ke kosan seorang kerabat, langsung tanpa kembali terlebih dahulu ke kontrakan.
Sesampai di sana, ada beberapa teman kerabat terrsebut yang sedang berada di kamarnya bermain game di komputernya. Aku masuk, dan langsung disodorkan sebuah pertanyaan” abis dari mana nih, koq pake peci”. Dengan enteng saja ku jawab dari sholat isya.
Beberapa saat kemudian datang kerabat yang ku maksud tadi dari luar. Kali ini pertanyaan yang dilemparkannya tak jauh beda, namun lebih spesifik. “pakai peci, habis pengajian ya?”.
Nah, untuk pertanyaan kedua ini, baru aku tersadar, ternyata ada yang dipandang orang lain berbeda atas sikapku yang memakai peci tanpa momen yang khusus ini.
***
Setelah aku kembali ke kosan, akupun berpikir ulang, adakah memang salah saat aku menentukan sikap untuk memakai peci tersebut di luar momen lebaran atau sholat jumat? Dan apakah memang peci hanya boleh dipakai saat kita hendak sholat ke masjid saja, dan setelah itu saat kita akan berjalan kemana-mana peci tersebut harus ditanggalkan?
Aku tentunya tidak mau disalahkan begitu saja, dan akupun berprasangka bahwa orang-orang tadilah yang salah dengan memandang terlalu sempit kegunaan peci. Dan aku ingin memastikan bahwa perkiraanku ini haqqul yakin, benar-benar benar.
Mengapa kita harus malu saat menggunakan peci selain di waktu hendak sholat? Mengapa kita harus canggung saat berpakaian baju muslim ketika hendak keluar rumah, selain saat hendak jumatan, atau magriban?
***
Sejatinya baju muslim, peci, kopiah, maupun sarung, sudah menjadi sebuah identitas tersendiri bagi seorang muslim. Hal ini sudah diakui luas oleh masyarakat umum seiring bertumbuhnya budaya Islam di nusantara. Selayaknya kita-kita yang memiliki keterangan beragama Islam di KTP nya tidak perlu minder saat menggunakan identitas kita tersebut diluar aktivitas ibadah kita. Toh, dengan kita berbangga diri berpakaian khas identitas muslim tersebut, maka secara tidak langsung kita juga berarti membanggakan status kita sebagai umat muslim.
Kalau bukan kita yang berbangga diri dengan identitas khas kita yang telah dianugerahkan kepada kita, lantas siapa lagi? Bahkan orang-orang non muslim saja kini sudah marak yang mencuri kebanggaan kita tersebut. Betapa banyak sudah kita tahu bahwa para misionaris pun kini berkeliaran –tanpa rasa dosa- dengan bangganya memakai kopiah maupun baju muslim, nyelonong di hadapan orang muslim. Atau para tante misionaris yang alih-alih dahulunya penutup kepalanya seuprit seperti suster-suster rumah sakit, kini yang dikenakannya sudah lebih mirip jilbab. Hampir-hampir kalau kita tidak teliti, akan kita kira mereka akhwat-akhwat yang sedang lewat.
Terlepas dari kenyataan historis asimilasi dan akulturasi atas proses Islamisasi nusantara, masihkah kita harus malu jika pergi jumatan bersarung, atau mampir ke rumah tetangga tanpa perlu memasukkan peci ke kantong baju, atau bahkan pergi ke sebuah acara dengan berbaju muslim ria???
***
Menurut sejarah, sarung berasal dari kebudayaan bangsa Yaman. Meskipun sebenarnya di sana sarung bukanlah dipakai untuk sholat, tetapi menjadi sebuah pakaian sehari-hari. Ia masuk ke Indonesia melalui wasilah para pedagang arab yang datang berdagang ke Indonesia. Seiring proses perkembangan budaya hingga kini, ternyata sarung bukan hanya dipakai orang-orang muslim saja, tetapi kalangan hindu-budha juga menyerapnya. Seperti yang kita lihat jika di bali, para penari kecaknya memakai kain sarung berpatron kotak-kotak besar hitam-putih.
Kalau baju muslim atau baju koko kita biasa menyebutnya, belum seberapa banyak sumber yang dapat memastikan asalnya. Tetapi berdasarkan analisis sebagian orang, baju ini bersumber dari kebudayaan cina. Baju ini dahulunya banyak dipakai oleh engkoh / koko-koko, paklek of Chinese tersebut. Biasanya baju ini berwarna merah, dengan leher baju tanpa kerah. Nah, selanjutnya, seiring perkembangan budaya, baju ini telah termodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi cirri khas umat muslim nusantara masa kini. Tentunya, bentuk baju muslim ini tidak disertai dengan kancing khas cinanya.
Adapun Kopiah (bukan kopi) hitam / songkok yang biasa dipakai pak caleg banyak janji hingga pak presiden di figura, itupun sangat khas di nusantara. Ada cerita, pada saat ketika pada awal mula kemerdekaan, ketika para tokoh Indonesia berkumpul dengan para utusan Negara-negara Islam lainnya dalam sebuah forum organisasi Negara Islam dunia, sangat mudah mengidentifikasi utusan-utusan tersebut saat berfoto bersama. Orang-orang dari belahan Turki, biasanya memakai topi khasnya Kemal sekularis Attaturk yakni tarbus Turki. Orang-orang arab memakai kafiye / kafiya, yang bentuknya berupa kain lebar dengan dililit ikat melingkar di kepala. Dan, untuk bapak bangsa dari Indonesia, cukup cari saja yang berkopiah hitam, dan biasanya berbadan kecil dan agak menyempil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^