Kapitalisme: Sebuah Ketidakadilan
Secara simple, dalam kebijakan ekonomi system ekonomi kapitalisme yaitu dimana pemerintah sekecil mungkin memungut pajak dari perusahaan. Upah buruh juga harus rendah, sekedar cukup untuk menutupi biaya hidup buruh tersebut. Perusahaan-perusahaan kapital juga harus dimudahkan dan difasilitasi agar berkembang pesat. Dengan perusahaan mendapatkan untung yang besar tersebut, dapat digunakan untuk membangun perusahaan baru dan membentuk konglomerasi, dan laba yang terus berkembang tersebut digunakan untuk investasi di berbagai bidang lain.Dengan banyaknya perusahaan baru dan investasi di berbagai bidang, maka dalam teorinya akan terbukalah lapangan kerja baru seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang meningkat. Tingkat pengangguran akan tertekan, sehingga terciptalah yang namanya kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan pertumbuhan kesejahteraan ini, maka upah buruh akan ikut naik secara bertahap.
Oleh sebab itulah kebijakan ekonomi penganut kapitalis mengutamakan investasi besar-besaran, baik domestic maupuin asing. Sector perbankan pun ikut menunjang kebijakan ekonomi kapitalis ini dengan memberikan kredit.
Namun kenyataannya disini adalah bahwa perbankan cenderung memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan besar saja, yang sudah mapan, dan juga perusahaan-perusahaan para cukong. Alasannya cukup kapitalis, berurusan dengan masyarakat rendah tidak berpendidikan cukup menyusahkan, dan juga keuntungan yang didapatkan dari kredit untuk usaha kecil dan mikro relatife tipis.
Secara teori hal-hal seperti ini tidaklah salah. Namun ini sama sekali tidak memiliki rasa kemanusiaan dan keadilan. Dalam konteks tadi, buruh hanya sebatas dianggap sebagai alat produksi, dan disamakan dengan mesin-mesin. Sangat tidaklah memiliki rasa keadilan, buruh yang bekerja keras sepanjang hari penuh setiap bulan, UMR yang diberikan hanya berkisar satu juta rupiah perbulan, yang mana untuk membiayai kebutuhan dasar fisik pun tidak pernah mencukupi, karena tingkat pendapatannya selalu kalah oleh tingkat inflasi. Hal ini bukan berarti buruh harus digaji setara dengan majikan. Tetapi paling tidak buruh tersebut harus mendapatkan upah yang cukup, yang bisa membiayai kehidupan yang layak, termasuk untuk masa depan anak-anaknya.
Dilain sisi, para pengusaha-pengusaha konglomerat tersebut senantiasa menghindari kenaikan upah buruhnya, dengan dalih biaya produksi senantiasa naik sehingga labanya cenderung tipis. Bukankah hal ini semua sangat jauh dari nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan?
Neo-liberalisme: Neo-Kolonialisme
Ekonomi neo-liberal merupakan turunan dari sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ekonomi kapitalis pasar terbebas dari campur tangan pemerintah, sehingga para pemilik modal besar akan cenderung menguasai pasar. Seiring perkembangan dunia, isu globalisasi pun digadang-gadang oleh dunia barat, di mana peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia sangat dibutuhkan melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Melalui isu globalisasi inilah, sistem ekonomi neo-libaeralis ini ditelurkan. Dengan dirasa perlunya saling keterkaitan dan ketergantungan antar Negara di dunia global, maka diciptakanlah istilah pasar global, dimana pasar setiap Negara harus terbuka untuk Negara lainnya, baik itu dalam bentuk perdagangan, investasi, hingga kebudayaan.
Menurut Kodrat Wibowo, pengamat ekonomi dari Unpad, ciri pemerintahan neolib adalah pemerintah yang melepaskan kewenangannya dalam penyediaan barang-barang publik. Pemerintah melakukan swastanisasi BUMN, membuka pintu lebar-lebar pada asing, dan keikutsertaan dalam perdagangan bebas (global).
Sedangkan menurut Hendri Saparini, pengamat dari Econit Advisory Group, salah satu gejala dari neolib adalah pihak asing yang berusaha menguasai perekonomian dengan cara membelokkan arah kebijakan ekonomi nasional. Salah satu modusnya adalah dengan menyuap para pejabat dan politisi agar membuat aturan perundangan yang pro-asing.
Menelusuri sejarah neo-liberasasi di Indonesia, bermula dan berkembang pesat pada rezim soeharto, yaitu dengan adanya Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) bernama Mafia Berkeley. Generasi awalnya adalah Prof. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh. Sadli, JB Soemarlin, Adrianus Mooy, dan masih sangat banyak lagi. Pada tahun 1967, kelompok para ekonom bentukan soeharto tersebut menghadiri sebuah konferensi di Jenewa yang dipimpin oleh David Rockefeller. Singkat cerita, disana mereka atas nama utusan Indonesia didiktekan oleh David Rockefeller apa yang diinginkannya. “saya mau ini, ini, ini, itu dan itu…”
Dari pertemuan tersebut, Freeport mendapatkan Tembagapura di Papua Barat, yang mana terkandung cadangan tembaga terbesar ketiga dan cadangan emas terbesar di dunia.. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan.
Di era megawati, neoliberalisasi tetap berlanjut, bahkan semakin deras. Banyak BUMN yang diprivatisasi, diantaranhya Indosat, Telkom, BNI, Aneka Tambang, dan lainnya. Termasuk penjualan blok gas Tangguh ke Cina dengan harga yang sangat murah.
Pada pemerintahan SBY pun arus neolib semakin deras. Pemerintah merancang harga BBM agar bagaimana caranya disamakan dengan harga pasar internasional. Pertamina yang merupakan perusahaan milik Negara pun bisa-bisanya kalah oleh Exxon di blok Cepu.
Ada banyak cara system neolib ini berkembang subur di negeri ini:
- Bisa dengan menyuap pemimpin/pejabat Indonesia untuk mengamandemen UUD 1945 dan membuat berbagai undang-undang (UU) yang lebih menguntungkan asing.
- Dapat juga dengan berbagai ancaman, antara lain embargo ekonomi maupun embargo militer, maka pemimpin/pejabat Indonesia ditekan untuk menandatangani berbagai perjanjian yang lebih menguntungkan kapitalis asing.
- Memberi pinjaman (utang) ke Indonesia melalui IMF, World Bank, ADB dll yang mayoritas pemodalnya adalah negara kapitalis. Untuk mendapatkan pinjaman itu pemerintah Indonersia harus menandatangani syarat-syarat yang lebih menguntungkan para kapitalis asing.
Dengan bantuan-bantuan asing, pinjaman-pinjaman luar negeri, sebuah Negara dapat didiktekan kebijakan-kebijakannya agar sesuai dengan kepentingan asing. Dengan ancaman embargo ekonomi, pemimpin sebuah Negara diperas agar bertindak sesuai dengan arah kebijakan Negara adikuasa.
Bahkan para pejabat Negara pun dapat bertindak mengambil sebuah kebijakan yang akan cenderung menguntungkan asing dan kapitalis konglomerat dengan dalih mengamankan stok persediaan dalam negeri. Lihat saja seperti kejadian impor garam pada pertengahan 2011 lalu. Kala itu merupakan masa panen garam, dan produksi garam nasional masih diperkirakan aman hingga pertengahan 2012. Namun secara diam-diam menteri Marie Elka Pangestu membuka kran impor garam dari luar negeri. Kebijakan seperti ini tentunya dikarenakan pejabatnya tersebut yang sudah menjadi kaki-tangan kapitalis asing, sehingga berani-beraninya membuka kran impor ketika stok nasional dinyatakan masih aman.
Dan lagi-lagi yang akan sangat dirugikan adalah petani-petani kecil kita. Dengan dibukanya kran impor pada masa panen petani tersebut, maka tentunya harga ditingkatan petani akan anjlok seketika. Upaya seperti ini tentu akan melemahkan posisi petani, dan lagi-lagi memenangkan para kapitalis. Kalau sudah begini, petani tidak akan mampu bangkit, dan ujung-ujungnya akan beralih menjadi buruh di kota-kota besar, dimana dengan kerja maksimal dan upah minimal. Menjadi budak; terjajah di negeri sendiri, mati di tengah tumpukan padi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^