Suatu ketika, Buya Hamka pernah ditanya oleh seorang muridnya: “ustadz, saya memiliki dua orang tetangga. Yang satu seorang haji, rajin ke masjid, namun orangnya berperangai kasar. Dan yang satunya muslim juga, namun sangat jarang sholat, meskipun begitu ia merupakan orang yang sangat ramah dan penyayang. Suatu ketika anjing peliharaannya masuk ke pekarangan pak haji tersebut. Dengan kasar pak haji tersebut mengusir anjing tersebut. Anjing tersebut pun kembali ke majikannya, dan dengan penuh sayang anjing tersebut dibelai oleh majikannya tersebut. Manakah yang lebih baik diantara mereka berdua?”
Buya Hamka pun menjelaskan jawabannya kepada sang murid. “si Haji tersebut perangainya mungkin akan lebih kasar lagi seandainya ia bukan seorang haji, dan rajin ke masjid. Sedangkan tetangga yang satunya, ia sudah baik, namun akan sangat baik dan lebih baik lagi seandainya ia sholat”.
Pada kenyataannya, memang orang yang rajin melaksanakan perintah Allah SWT, belum tentu dapat berbuat baik lebih dari orang yang belum melaksanakan perintah-perintahNya. Dan bisa saja orang-orang yang tidak belajar keIslaman secara mendalam justru akhlaknya lebih menyentuh masyarakat, sehingga terpancarlah sinar kebaikan dari dalam dirinya yang menyejukkan orang-orang disekelilingnya. Ia mungkin tidak kenal sholat berjamaah, ia juga mungkin tak kenal apa itu bertilawah. Namun tentunya perilaku yang baik dan memberi manfaat langsung bagi sesamalah yang akan diterima masyarakat nyata.
Bahkan Rasulullah SAW pun, sebelum beliau menyerukan dakwah kepada Allah, jauh-jauh sebelumnya beliau telah menginvestasikan terlebih dahulu akhlakul karimahnya terhadap masyarakat Mekkah. Jauh sebelum ia memperkenalkan Islam, jauh sebelum ia menerima wahyu, ia telah dikenal sebagai Al-Amin, Yang Dapat Dipercaya. Bahkan hingga ia mulai mendakwahkan Islam ditengah kaum Quraisy, ia tetap dipercaya sebagai tempat menitipkan harta yang dapat dipercaya, dimana di saat bersamaan orang-orang Quraisy menghujat dan mencemooh beliau, atas apa yang Ia serukan.
Ada satu lagi peristiwa, suatu ketika ada seorang pemuda yang ditangkap polisi tanpa alasan jelas. Adalah kala itu M. Natsir mendatanginya dan melepaskannya dari kantor polisi. Setelah itu, ada muridnya yang protes “ustadz, mengapa kita mengurusi dia, sedangkan dia bukan orang (jamaah) kita. Beliau pun lantas terdiam sejenak dan menjawab “Bukankah ia seorang muslim juga?”. Seketika murid tersebut terdiam.
Terkadang kita berpikir terlalu sempit dalam hal berjamaah, dan melupakan bahwa sejatinya Islam kita ini Rahmatan lil ‘alamin. Sering kita lupa bahwa kita bukanlah berislam dalam jamaah, melainkan berjamaah dalam Islam. Yang sering kita lupakan dan tidak kita sadari, terkadang kita meninggikan jamaah di atas Islam kita. Terkadang kita memicingkan mata terhadap orang lain yang berbeda dari barisan kita. Kita lebih sering lupa, yang ada seharusnya Islam diatas segalanya, Islam itu yang lebih layak kita junjung sebelum golongan, organisasi, dan sebagainya.
Memang, sejatinyalah penyakit lalai dan lupa ini fitrah kita sebagai manusia, seperti sabda Junjungan Mulia : “Al insanu ma’al khatha’ wan nisyaan”, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Namun meskipun begitu, kita masih selalu punya kesempatan untuk senantiasa memperbaiki diri. Mungkin insan tidak akan pernah lupa oleh kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat atasnya. Tapi yang tak boleh kita lupakan, bahwa kesempatan berbenah diri tidaklah pernah tertutup, dan bukankah gerbang maghfirohNya sangat luas tak bertepi?
Seandainya kita bisa senantiasa ingat bahwa Islam kita diatas segalanya, dan seandainya kita dianugerahi kepahaman bagaimana berIslam yang benar, maka mungkin Islam ini akan segera berjaya, tanpa harus umatnya berpecah-belah, tanpa harus kita memperjuangkan kepentingan-kepentingan semu, dan tanpa ada fitnah atas dakwah. Wallahu a’lam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^