Label

Jumat, 15 Juli 2011

TKI: Menakar Martabat Bangsa Kita di Mata Dunia


Bangsa kita sebenarnya belum lepas sepenuhnya dari penjajahan dan perbudakan. Hingga kini kita masih leluasa melihat penjajahan harga diri rakyat miskin oleh kaum kapitalis, dan perbudakan berwajah tenaga kerja.

Kalau penmerintah kita mau berlaku lebih arif, tentunya akan memberikan solusi bagi rakyatnya yang menggadai kehidupannya di negeri orang hanya demi sesuap nasi dan rela disiksa dan dilecehkan harga dirinya. Mereka bukan tanpa alasan mau mengadu nasib ke luar negeri. Sebab utama mereka adalah bahwa di dalam negeri tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang dapat memberikan mereka jaminan hidup, dan jikapun ada, penghasilan yang mereka dapatkan tidak memadai dan terkadang upah mereka seolah-olah mereka bukanlah manusia, tapi hanya dipandang sebagai pekerja yang diperas tenaganya. Dan celakanya, filosofi seperti inilah yang merupakan wajah kapitalis sebenarnya. Padahal jelas-jelas negara kita menolak paham kapitalisme.

TKI, yang notabenenya penyumbang devisa kedua terbesar setelah migas, namun sangat miris nasibnya. Pemerintahan kita terlihat hanya menginginkan hasil jerih payah para pekerja kita, namun tidak pernah mau memikirkan nasib masa depan rajkyatnya. Para tki juga manusia, yang tentunya memiliki keluarga dan anak. Tentunya mereka tidak akan terus menerus bekerja kasar di negeri rantau. 

Pemerintah sepatutnya menghentikan aliran pekerja kasar kita di negeri orang. Karena harga diri bangsa kita terlecehkan dengan membiarkan para rakyatnya menjadi kuli di negeri orang. Para tki kita boleh berbangga bahwa penghasilan mereka sebulan jutaan rupiah, jauh melampaui gaji pegawai negeri sipil. Namun, di pandangan orang luar, terlebih majikannya ditempat mereka bekerja, mereka tak lebih dari nilai seorang babu dan jongos. Sehingga tepatlah sebuah pepatah yang mengatakan Lebih baik kita hidup sederhana di rumah sendiri dan menjadi raja, daripada kaya raya namun menjadi babu di negeri orang.

Pemerintah sudah seharusnya mengganti orientasinya dari mengharapkan penghasilan besar untuk jangka pendek dengan investasi bangsa masa depan bangsa jangka panjang. Kebijakan pemerintah sudah saatnya memikirkan bagaimana caranya agar rakyatnya diberikan lapangan pekerjaan di negeri sendiri sehingga  tak perlu mengais rejeki di tanah orang. 

Apa sebenarnya yang membuat pemerintah kita sangat takut untuk menggugat pemerintahan arab saudi  saat penganiaya TKW kita pengadilannya tak jelas dan tegas? Saya rasa memang benar pemerintah kita, pemerintahan yang kurang berdaulat dan tak gagah di mata dunia, hanya dipandang sebelah mata.  Mungkin benar Pemerintahan kita sangat takut jika banyak bersuara, kuota haji negeri ini akan dikurangi. Lantas mengapa begitu takut akan pengurangan kuota haji?

Asal kita ketahui, jemaah haji merupakan komoditas yang memberikan penghasilan luar biasa bagi berbagai pihak setiap tahunnya. Tidak hanya pemerintah arab saudi yang senantiasa banyak mendapatkan devisa dari kedatangan jamaah haji terbesar seluruh dunia ke Mekkah tersebut, namun juga pemerintah kitapun bermandikan uang proyek setiap tahunnya dari pelaksanaan ibadah haji ini. Meskipun belakangan sudah agak lebih bersih, namun patut kita pantau terus proyek penunjukan katering, proyek pemondokan haji, dan lain sebagainya. Harus kita cermati, mengapa ada cerita serombongan jamaah haji yang sakit perut setelah memakan nassi katering.

Tentunya bisa disinyalir adanya permainan dalam ketidak profesionalitasan dan buruknya pelayanan tersebut. Setelah itu, mengapa jamaah haji kita tak pernah mendapatkan tempat pemondokan  yang lebih dekat ke masjidil haram. Padahal kita semestinya memiliki bargaining yang tinggi dengan keadaan kita yang merupakan jumlah terbesar pengirim jamaah haji di dunia. Apakah jarak yang cukup jauh ini sengaja dipilih agar ada selisih harga yang bisa diraup demi kantong sekelompok pelaksana haji, atau karena tidak adanya daya bargaining bangsa kita terhadap bangsa lain? Meskipun sekali lagi, hal ini dapat kita maklumi seiring ada sedikit perebaikan dengan dikembalikannya selisih uang bagi penginapan sesuai jaraknya dengan masjidil haram.

Kembali ke permasalahan atas sikap pemerintahan kita, yang hanya mengharap devisa dari para pahlawan negara tanpa menghiraukan nasib mereka. Apa yang mendasari pemerintah kita saat ketegangan antara korsel dan korut memanas, tak segera melakukan persiapan mengenai evakuasi para tenaga kerjanya di sana? Sedangkan di saat bersamaan itu juga, pemerintah Filipina langsung mengumumkan bahwa mereka memberhentikan sementara pengiriman tenaga kerjaanya ke negeri ginseng tersebut. Saat mendengar berita yang kontras atas sikap terhadap tenaga kerja oleh dua pemerintah ini, hati sangat miris.

Tergambar gamblang bagaimana sebenarnya keberadaaan tenaga kerja kita di pandangan pemerintahan negara kita, tak lebih dari sekedar babu, yang tenaganya untuk diperas, dan  nasib masa depannya tak perlu. Mungkn pepatah “habis smanis sepah dibuang” sepertinya tak berlaku lagi. Tepatnya kini bangsa kita telah mengubah perlahan pepatah tersebut menjadi “cukup  ambil manisnya saja, batang ditebang dan sepah dibuang”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah sudah mau meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...