Ketika saya pulang dari rumah kembali ke pusat peradaban beberapa waktu lalu, saya hampir saja mengalami kecelakaan. Dalam perjalan satu jam setengah, saya mengendarai motor dengan kisaran kecepatan 80-110 km/jam.
Di tengah perjalanan, saya menemui jalanan licin setelah hujan. Tanpa mengurangi kecepatan, saya tetap melaju dengan kencang. Namun ketika saya menemui jalanan dengan mobil macet antrian, saya seketika menginjak rem. Yang terjadi saat itu adalah motor saya langsung oleng, ban belakang ngesot ke kanan dan ke kiri, hampir saja motor saya terpelanting jika saya tidak segera menyeimbangkan motor dan menyesuaikan kecepatan. Alhasil, saya hanya menyerempet bemper belakang mobil di depan saya. Itupun jika tidak segera membanting stir ke kiri hingga terperosok ke bahu jalan, mungkin saya akan menghantam belakang mobil tersebut secara membabi-buta.
Saya sontak beristighfar ketika itu. Seandainya saya menabrak mobil tadi, mungkin apa jadinya saya. Jika rem motor saya ternyata blong, mungkin nahas lah saya saat itu. Meskipun yang saya dapatkan sekedar kaki sedikit lebam terserempet bemper belakang mobil. Tapi, Alhamdulillah yah, cukup sesuatu bagiku.
Dari kejadian sesaat itu, saya langsung teringat dan menafsir-nafsir tentang daya jelajah dan daya tahan, yang pernah diungkapkan oleh ustadz Rahmat Abdullah dalam sebuah bukunya.
Sebuah kendaraan, sangat membutuhkan daya jelajah dan daya tahan yang proporsional dan seimbang, tidak bisa menafikan maupun meninggalkan fungsi salah satu dari kedua tersebut. Motor balap dengan kecepatan tinggi layaknya Valentine Rossi, tanpa adanya rem dan ban yang handal, maka apalah arti. Begitupun motor tua yang dipasangi rem double cakram, namun mesinnya odong-odong, hanya mampu berlari seperti gerobak sapi. Tak perlu di rem, cukup dibenturkan ke trotoar, ia pasti berhenti.
Seperti pula kendaraan, sebuah kebudayaan dan peradaban pun sangat perlu proporsionalitas daya jelajah dan daya tahan tersebut. Kita lihat, Barat sangat maju dengan ilmu pengetahuan dan kecanggihan-kecanggihan teknologinya. Namun sayang, mereka tidak punya daya tahan yang baik. Budaya Barat merupakan budaya yang glamour namun terlampau bebas tanpa batasan-batasan norma yang pasti. Kehidupan keluarganya rentan perceraian, terkenal dengan seks bebas dan obat-obatan. Hanya menunggu waktu saja, peradaban mereka akan terpuruk, seperti kaum-kaum terdahulu yang termaktub dalam alkitab.
Sebaliknya, budaya Timur terkenal dengan kepakeman remnya, namun sangat terbelakang dalam perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Masyarakatnya masih sangat menjunjung norma-norma kemasyarakatan. Toleransi dan tenggang rasanya terkenal sangat tinggi. Namun kejumudan mengunci kaki-kakinya dalam mengorek dan mengkritisi ilmu pengetahuan.
“Barat dengan segala kilau kebendaan yang menjadi tujuan tertinggi mereka telah lebih berhasil menyebarkan faham hedonik ini daripada pendukung faham langit yang mengacu kepada wahyu. Begitu memukau kemajuannya dan menggiurkan produk kebendaannya. Tetapi benih-benih kerapuhan telah tersimpan di dalamnya, seperti bom waktu yang suatu saat akan meluluhkan. Ia adalah mobil pacu yang sangat cepat, namun tak punya kekuatan rem atau daya tahan.Sedangkan Timur memiliki daya tahan yang sangat kuat dalam menghadapi bencana. Sayang daya jelajahnya lemah dan kekuatan lajunya rendah. Bagaimana Anda bersikap tentang iklan mobil yang mengunggulkan kekuatan rem dan kehebatan suspensi, namun ketika ditanya tentang kecepatan lajunya, hanya merayap 5 km perjam. Rem sekuat apa yang diperlukan mobil dengan kemampuan jelajah seperti siput? Ia cukup distop dengan membenturkannya ke trotoar (Sebuah Kesaksian – Ust Rahmat Abdullah)“
subhanallah.... k robert tidur pas nyetir, sy sendiri juga hampir tabarakan, dan crita antum pun serupa...
BalasHapusteringat sebuah hukum kausalitas., bahwa semua akan kembali sesuai usaha kita... semoga semangat itu menjadi hukum kausalitas bagi budaya timur untuk bangkit... dan cukuplah agama menjadi remnya...